Dilarang keras menyalin isi blog ini tanpa menyertakan sumber aslinya!

Thursday, 30 June 2016

Cobaan Menjadi Seorang Jomblo

Jomblo

  Bicara tentang masa muda atau masa remaja pasti tidak jauh-jauh dengannya namanya hubungan asmara (ciyee). Dan hal yang paling sering menjadi topik pembicaraan adalah tentang hubungan dua insan sejoli bagaikan Romeo dan Juliet (bukan Junaedi). Hubungan spesial yang begitu sering menghiasi indahnya masa-masa remaja seperti baliho di pinggiran jalan ataupun warung makan (apa hubungannya). 

   Tapi kebahagian itu juga bisa sirna bila ternyata putus hubungan bercinta. Dan status yang dulunya double menjadi single atau sering dikatakan sebagai jomblo. Bicara mengenai jomblo, jujur aja itu sudah sering gue alami dulu sedari lahir sampai sekarang ini. Jomblo itu terkadang penuh cobaan tidak seperti mereka yang sedang memadu asmara layaknya pohon palem dan lampu listrik pinggir jalan (ini apa hubungannya). 

   Hari-hari gue sebagai jomblo begitu kelam, sunyi, senyap dan ada terdengar suara Mbeeek (busyet dah). Cobaan silih berganti dari yang sandal jepit (ringan) sampai yang pake high heels (berat). Memilukan karena gue hanyalah insan biasa yang juga memerlukan cinta ditambah uang, gadget, wifi gratis atau perlu makan minum gratis (lebaay). 

   Ketika malam minggu gue hanya melihat mereka yang sedang dimabuk asmara berjalan bersama lalu lalang kesana kemari memadu cinta kasih yang indah. Gue hanya bisa melihat mereka dengan tatapan sedih dan sedikit air liur keluar. Teringat masa indah ketika gue jatuh cinta. Dunia terasa penuh warna, bau gosong sate yang kelamaan di bakar tercium seperti aroma parfum kelas elit dan di telinga serasa terngiang lagu-lagu cinta dari grup band Slipknot. Pokoknya sangat indah. Tapi apa mau dikata ya gue terima saja nasib kejombloan gue yang tanpa ampun dan melekat bagaikan panu di punggung gue. 

   Di media sosial macam Facebook dan Twitter gue sering melihat muda-mudi berfoto bareng pasangannya dengan embel-embel macam-macam tidak bisa dihitung apalagi diabsen. Gue juga pengen seperti tapi karena nasib gue udah lain terpaksa gue foto bareng tiang listrik yang ada di depan rumah biar greget sambil gue beri komen "Selalu setia berada di halaman rumah gue." 

  Dan yang paling menyiksa adalah ketika gue hadir di acara kawinan baik kawinan teman, tetangga maupun sodara. Gue sering ditanya kapan nyusul. Gue tegang mau jawab apa karena suasananya udah berubah kayak di kuis Who Wants to be Millionaire. Gue jawab aja "Entar kalo situ sudah dijemput ajal." Akhirnya gue kena gampar. Sakit sih sakit tapi nasib gue yang jomblo lebih menyakitkan lagi.

  Dan akhirnya gue nyari kegiatan biar rasa ngenes kejombloan gue berkuran. Gue main game, olahraga, nonton film, tidur dan macam-macam pokoknya. Gue berusaha mempelajari artinya hidup (udah kayak pujangga aja). Ternyata jadi jomblo itu enak juga. Gue lebih bebas kesana-kemari enggak ada yang ngatur selama itu positif. Bisa lebih bebas menuangkan bakat gue sebagai pujangga tak berkelas. 

  Yang paling membuat gue akhirnya lega dan mau menerima nasib jomblo gue ini adalah karena gue meyakini sebuah kata-kata bijak bahwa setiap orang itu mempunyai jodoh. Jodoh gue itu ada dan pastinya akan datang kepada gue cepat atau lambat dan gue hanya menunggu tapi juga mencari ada di mana dia gerangan wahai jodohku yang tercinta. Dan jodoh itu sudah di atur oleh yang Maha Kuasa jadi sabar saja dan tetap mencari karena kita tidak tau kapan dan di mana kita akan menemukannya.

Note:
Curhatan di atas adalah fiktif belaka jika sakit berlanjut hubungi dokter.

Share this article:

Facebook Google+ Twitter