Dilarang keras menyalin isi blog ini tanpa menyertakan sumber aslinya!

Tuesday, 12 July 2016

Catatan Si Pengangguran

No Income

   Dari judul di atas bukannya gue mau nyama-nyamain dengan judulu film Catatan Si Boy atau judul sinetron Catatan Hati Seorang Istri. Tapi judul tersebut terinspirasi dari pengalaman suka dan duka (walaupun kebanyakan dukanya sih) kehidupan gue sebagai jomblo pengangguran. 

   Gue setelah lulus kuliah udah pernah kerja macam-macam dari yang pulang cepat sampe pulang lambat. Dari yang mudah sampe yang susah. Tapi kerjaan itu cuma bersifat dadakan dan enggak lama kayak tattoo temporer gitu. Ada kemudian hilang musnah tak berbekas. Terus terang aja berbagai pengalaman udah gue alami dari banyak uang sampe kehilangan uang ludes cuma tertinggal uang logam doang yang bergemirincing di saku celana.

   Belum lagi cobaan hidup gue yang seringkali datang bertubi-tubi merangsesk masuk ke dalam kehidupan gue yang sederhana ini. Makin pilu terasa apalagi gue udah lumayan punya umur dan bentar lagi bisa di panggil Om-Om ketimbang Mas-Mas (asal jangan Mbak-Mbak). Gue jadi sadar karena perputaran roda hidup itu tidak bisa di tebak apalagi di ramal tukang ramal kayak Madam Gurun Gobi. Bentar di atas dan sekejap di bawah terus ngelindas t***i ayam lagi (ngenes bang). Gue juga kadang mikir apa gue kena kutukan. Udah sering melamar kerja ke sana kemari dan di interviewe sama interviewer ramah lagi menyenangkan sampe yang sangar lagi menakutkan kayak pohon angker di pinggiran jalan. Dan udah bisa di tebak gue enggak lulus. Makin sakit waktu tau ada peserta yang lulus tapi pake money politic alias pake pelicin sekaligus pelembut dan pewangi. Apa gue mesti jual tanah 5 hektare yang ada di belakang rumah gue. Gue enggak bisa jual apalagi berani jual karena itu tanah bukan milik gue tapi tanah milik orang lain. 

   Terus yang bikin gue sering ngenes adalah gue sering minder bila ketemu sama mereka-mereka yang muda, keren, kece badai tornado terus pake gadget dan kendaraan keren (entah itu didapat dengan uang mereka sendiri atau dibeliin orang tua mereka yang emang tajir). Lah gue yang cuma pake motor matic (terus bunyi motornya kurang memikat telinga) dan penampilan tampang ala kadarnya lagi seadanya dan sederhana ini sering merasa terbully dan tersisihkan. Tapi itu cuma perasaan gue doang kok. Aslinya gue cuek aja dan memilih enggak mikirin hal begitu untuk waktu yang lama. Daripada sakit hati.

   Dan salah satu cobaan yang berat adalah ketika gue sering ditanya kapan kawin. Lah gue yang belum punya kerjaan tetap begini aja nekat kawin. Entar kelaparan istri dan anak gue. Enggak tega gue kalo melihat istri dan anak gue kelaparan atau malah bernasib lebih ngenes. Makanya gue enggak berani kawin sekarang. Kan biaya kawin mahal. Apalagi itu menyangkut masa depan gue kelak. 

   Emang bener masa kuliah adalah masa yang berat dan penuh cobaan. Dan dosen penguji sidang skripsi lebih menakutkan daripada Valak. Tapi lebih berat lagi masa setelah kuliah karena saat itulah saat mental dan perasan kita di uji. Mau senang-senang ala anak muda usia remaja sudah enggak cocok lagi karena pilihannya adalah bekerja lalu berkeluarga (beribadah juga termasuk). Tapi itu untuk yang cowok. Kalo untuk cewek cukup nunggu di rumah dan menunggu pinangan dari pangeran yang turun dari gerobak sudah bisa bernafas lega layaknya baru makan permen wangi penyegar mulut. Tapi banyak juga sih yang kerja membangun karir (ciyyee wanita karir) biar bisa jadi sosialita yang kesana kemari dengan pakaian dan barang bermerek (bisa jadi itu juga barang KW). 

   Yang bikin gue semangat untuk tetap nyari kerja adalah kata-kata bijak "Raihlah cita-cita setinggi langit." Bukan Cita Citata. Dan cita-cita gue adalah mendapatkan pekerjaan. Asal halal dan gajinya di atas 5 juta dan juga ada tunjangan keluarga, pensiun serta asuransi. Itu cukup buat gue. 

Note : Tulisan ini dibuat oleh penulis yang kebanyakan menghayal.

Share this article:

Facebook Google+ Twitter