Tulisan ini pernah saya posting di blog saya yang lain (baca di sini).
Ini cerita waktu gue mau buka rekening di bank sebut saja Bank Begini.
Gue mau buka rekening tidak bukan adalah untuk urusan bisnis walaupun
gue sebenarnya enggak tau buat bisnis apaan alias rekening buat bisnis
cuma alasan doank buat buka rekening di bank. Yang penting gue punya
rekening hehe.
Jam di kamar gue udah menunjukan pukul 13:46 dan gue udah siap-siap mau berangkat menuju Bank Begini. Segala keperluan kayak surat-menyurat, KTP, Kartu Keluarga, Kartu Sehat dari rumah sakit, Kartu remi, kartu domino dan kartu-kartu yang lain gue siapin buat jaga-jaga. Gue berangkat dengan motor kesayangan gue yang setia menemani gue kemanapun gue mau. Waktu gue sampe di bank, ternyata orang-orang di bank pada kagak ada alias lagi istirahat. Security yang lagi stand by di bank bilang sama gue, bahwa kegiatan bank baru mulai sekitar jam 14:30. Gue males balik dan tanggung cuma nunggu enggak sampe satu jam ko. Gue ambil nomer antrian biar bisa langsung bergerak bila di panggil mbak Customer Service.
Gue duduk santai di kursi ruang tunggu yang empuk dan menikmati semilir angin yang dihembuskan oleh AC bank tersebut. Sedikit demi sedikit orang mulai berdatangan. Gue amatin satu persatu buat melatih insting detektif gue. Orang pertama yang datang adalah bapak-bapak berumur sekitar 60 tahunan. Pake baju koko dan bisa diperkirakan beliau baru habis makan karena ada nasi yang menempel di sekitar bibir beliau. Yang kedua yang datang adalah cewek muda dengan penampilan yang bisa dibilang oke. Gue perkirakan dia pastinya udah menikah. Karena suami dan anaknya nunggu di luar bank hehe.
Nunggu walaupun kurang satu jam di ruangan ber-AC macam begini bikin gue ngantuk. Sesaat gue memejamkan mata. Beberapa menit kemudian gue membuka mata gue dan gue kaget bukan kepalang. Ada apa gerangan? Ternyata ada bapak-bapak duduk tanpa permisi di samping gue. Gue kira ada makhluk dari planet lain. Fuuh gue menghembuskan nafas lega karena gue enggak jadi henshin. Kalo bener beliau adalah makhluk dari luar angkasa macam Crisis Empire pastinya gue udah henshin jadi Ultraman. Eh tapi ternyata beliau ramah dan enggak sesangar tampang beliau. Sambil nungguin kegiatan bank dimulai, bolehlah gue denger cerita berbagai pengalaman beliau waktu di Star Wars dulu.
Akhirnya gue dipanggil juga dan sekarang gue duduk di kursi panas kayak di kuis Who Wants to be a Millionaire. “Selamat siang pak, ada yang bisa saya bantu” Sambut mbak Customer Service dengan ramah (gue dipanggil bapak-bapak hehe). “Saya mau buka rekening mbak” Jawab gue. “Saya boleh lihat KTP bapak?” Pinta beliau. “Boleh.” Jawab gue sambil mengeluarkan KTP gue yang gue simpen di dalam tas dan gue serahin sama beliau dengan wajah polos. Beliau kaget melihat KTP gue. Hey baling-baling bambu eh apa yang terjadi maksudnya. “Maaf pak ini bukan KTP, ini kartu remi.” Kata beliau sambil menahan tawa begitu juga para pengunjung bank yang lain. Sialan, gue salah comot. Mau ngambil KTP malah kartu remi yang gue ambil. Malu juga sih tapi kalo begini saja sudah malu, gengsi sama gelar Muka Tembok Beton yang teman-teman gue sematkan kepada gue.
Ini bukan, ini juga bukan. Sekitar sepuluh menitan gue berkutat dengan isi tas gue yang udah kaya lemari portabel. Akhirnya nemu juga ini KTP yang ternyata ada di dalam kantong celana gue. Akhirnya proses buka membuka rekening berjalan dengan lancar seperti di jalan tol. Gue kagum sama Mbak Customer Service yang udah membimbing gue mengisi berbagai formulir dengan telaten, ramah dan cekatan meskipun gue lumayan bego dalam urusan beginian. “Silahkan bapak bayar biaya administrasinya di bagian Teller.” Bimbing beliau. Gue langsung ke bagian Teller buat membayar biaya administrasi dan gue kemudian nunggu sebentar sampe gue dipanggil.
Sambil nunggu di kursi empuk. Gue beraksi lagi mengasah kemampuan detektif gue biar semakin tajam. Setiap makhluk yang berkunjung di bank ini gue amati. Mulai janda, duda, single, double sampe keroyokan tidak luput dari pengamatan gue. Gue bangga dengan kemampuan detektif gue walaupun kasus yang pernah gue tangani hanyalah kasus hilangnya gayung kamar mandi gue.
Ketika gue sedang dalam masa menunggu, datanglah seorang ibu-ibu bersama dengan anak cewek beliau yang dari perawakannya seperti anak usia SLTP. Gue awalnya enggak terlalu peduli dengan ibu-ibu tersebut kecuali dengan anak beliau. Badannya mungil dan sepertinya dia mau melakukan perjalanan jauh karena dia bawa tas yang lumayan penuh, pake sarung tangan dan kelihatan kondisi badannya masih segar (kalo habis datang dari perjalan jauh kondisi badannya pasti keliatan capek). Gue enggak ngeliat tampang itu anak awalnya dan jujur saja gue sedikit penasaran karena dari suaranya terdengar familiar dan begitu lekat di hati seperti lem tembak.
Gue amatin dia, kebetulan dia duduk membelakangi gue dan posisinya tidak jauh mungkin hanya berjarak dua meter saja dari gue. Duuh tolong tampakkan wajahmu hai perempuan mungil. Aku ingin melihatmu dan apakah aku pernah bertemu denganmu. Tidak ada reaksi sama sekali selain dia duduk membelakangi gue dan berbicara dengan ibunya. Ya biarlah, mungkin rasa penasaran gue ini tidak akan terobati dan gue juga tidak terlalu memikirkannya.
Lumayan lama juga nih Om-om di bagian teller ngurus biaya administrasi pembukaan rekening gue. Mungkin banyak yang mesti dilayani dulu jadinya harus antri. Sesaat ketika rasa penasaran gue terhadap itu perempuan sudah jauh berkurang. Gue kembali memandangnya walaupun tidak melihat wajahnya sama sekali. Posisinya tetap sama tidak berubah. Beberapa menit kemudian, sepertinya harapan gue terkabul. Dia mulai membalikan badannya atau lebih tepatnya mengubah posisi duduknya alhasil gue bisa melihat rupa wajahnya. Syukurlah.
Entah ini kebetulan atau mungkin dia merasa bahwa sedang diamati. Dia membalikan badannya dan menegok ke belakang tepat ke arah gue. Deg deg deg, jantung gue berdegup kencang seperti genderang mau perang. Gue tidak bisa apa-apa selain mematung tidak bisa bergerak ataupun mengubah pandangan. Gue seperti mendengar alunan musik yang pernah gue denger dulu waktu sedang jatuh cinta yaitu Given Up-nya Linkin Park. “Mahmud Dzul Qodir.” Om Teller manggil gue. Gue terpana dan tanpa sadar tidak memperhatikan panggilan Teller. Untung mbak Customer Service yang tadi bantu gue buka rekening ingetin gue, salut dah. Kenapa gue bisa terpana nanti gue jelaskan segera sesudah gue kelar urusan dengan yang namanya Teller.
Gue terpana dengan itu perempuan karena memang gue kenal dia. Dia adalah teman sekelas gue waktu gue SLTA. Tapi mungkin kalian akan sedikit bingung kenapa gue sampe segitu terpananya dengan dia. Yupz, dia memang teman sekelas gue atau lebih jauhnya dialah yang gue taksir waktu sekolah dulu.
Dia yang hanya bisa gue dekati walaupun cuma sebatas teman. Dia yang bikin gue bahagia walaupun hanya dalam pandangan. Dia yang membuat gue berusaha untuk menjadi siswa yang pintar. Tidak terkira bagaimana bahagianya gue waktu dia minta bantuan gue dalam mengerjakan tugas sekolah. Dia yang membuat gue tersenyum dari kejauhan. Namun gue sadar, dia tidak mungkin menyukai gue lebih dari seorang teman. Gue hanya bisa menyimpan rasa cinta dalam hati gue dan tidak berani mengungkapkannya. Iya gue emang pengecut.
Gue sebenarnya ingin menyapanya, mengatakan “Hai”, menanyakan kabar dan lain-lain tapi mulut gue seakan tergembok dengan sendirinya. Gue hanya bisa memandang dia dan dia juga memandang gue. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama yaitu tidak bisa saling menyapa dan pastinya tidak ada rasa lebih di hatinya selain menganggap gue sebagai teman biasa.
Mungkin ini adalah jawaban dari yang Maha Kuasa atas harapan gue yang ingin sekali bertemu dengan dia walaupun dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun singkat tapi sungguh berarti. Gue harap gue bisa bertemu dengannya dengan waktu yang lama, mudahan saja. Gue lihat wajahnya seperti menunjukan tanda tanya apakah gue emang orang yang dia kenal dulu. Kalo gue bisa menyapanya walaupun singkat, pastinya dia akan tahu bahwa gue adalah teman sekelasnya dulu walaupun dia tidak tahu bahwa gue dulunya sangat menyukai dia. Berbagai kenangan berkecamuk di pikiran gue. Begitu manisnya kenangan tentang cinta gue terhadapnya dan betapa pahitnya kenyataan bahwa gue tidak bisa menggapai cinta tersebut. Semua karena gue yang terlalu pengecut dan pesimis.
Gue tidak bisa apa-apa. Gue berjalan, berlalu di dekatnya tanpa bisa melakukan apa-apa dan berusaha meyakinkan diri bahwa masa lalu tentang cinta tak terungkap dan tersampaikan tersebut tidak perlu diingat. Sangat menyakitkan. Gue emang bodoh.
Jam di kamar gue udah menunjukan pukul 13:46 dan gue udah siap-siap mau berangkat menuju Bank Begini. Segala keperluan kayak surat-menyurat, KTP, Kartu Keluarga, Kartu Sehat dari rumah sakit, Kartu remi, kartu domino dan kartu-kartu yang lain gue siapin buat jaga-jaga. Gue berangkat dengan motor kesayangan gue yang setia menemani gue kemanapun gue mau. Waktu gue sampe di bank, ternyata orang-orang di bank pada kagak ada alias lagi istirahat. Security yang lagi stand by di bank bilang sama gue, bahwa kegiatan bank baru mulai sekitar jam 14:30. Gue males balik dan tanggung cuma nunggu enggak sampe satu jam ko. Gue ambil nomer antrian biar bisa langsung bergerak bila di panggil mbak Customer Service.
Gue duduk santai di kursi ruang tunggu yang empuk dan menikmati semilir angin yang dihembuskan oleh AC bank tersebut. Sedikit demi sedikit orang mulai berdatangan. Gue amatin satu persatu buat melatih insting detektif gue. Orang pertama yang datang adalah bapak-bapak berumur sekitar 60 tahunan. Pake baju koko dan bisa diperkirakan beliau baru habis makan karena ada nasi yang menempel di sekitar bibir beliau. Yang kedua yang datang adalah cewek muda dengan penampilan yang bisa dibilang oke. Gue perkirakan dia pastinya udah menikah. Karena suami dan anaknya nunggu di luar bank hehe.
Nunggu walaupun kurang satu jam di ruangan ber-AC macam begini bikin gue ngantuk. Sesaat gue memejamkan mata. Beberapa menit kemudian gue membuka mata gue dan gue kaget bukan kepalang. Ada apa gerangan? Ternyata ada bapak-bapak duduk tanpa permisi di samping gue. Gue kira ada makhluk dari planet lain. Fuuh gue menghembuskan nafas lega karena gue enggak jadi henshin. Kalo bener beliau adalah makhluk dari luar angkasa macam Crisis Empire pastinya gue udah henshin jadi Ultraman. Eh tapi ternyata beliau ramah dan enggak sesangar tampang beliau. Sambil nungguin kegiatan bank dimulai, bolehlah gue denger cerita berbagai pengalaman beliau waktu di Star Wars dulu.
Akhirnya gue dipanggil juga dan sekarang gue duduk di kursi panas kayak di kuis Who Wants to be a Millionaire. “Selamat siang pak, ada yang bisa saya bantu” Sambut mbak Customer Service dengan ramah (gue dipanggil bapak-bapak hehe). “Saya mau buka rekening mbak” Jawab gue. “Saya boleh lihat KTP bapak?” Pinta beliau. “Boleh.” Jawab gue sambil mengeluarkan KTP gue yang gue simpen di dalam tas dan gue serahin sama beliau dengan wajah polos. Beliau kaget melihat KTP gue. Hey baling-baling bambu eh apa yang terjadi maksudnya. “Maaf pak ini bukan KTP, ini kartu remi.” Kata beliau sambil menahan tawa begitu juga para pengunjung bank yang lain. Sialan, gue salah comot. Mau ngambil KTP malah kartu remi yang gue ambil. Malu juga sih tapi kalo begini saja sudah malu, gengsi sama gelar Muka Tembok Beton yang teman-teman gue sematkan kepada gue.
Ini bukan, ini juga bukan. Sekitar sepuluh menitan gue berkutat dengan isi tas gue yang udah kaya lemari portabel. Akhirnya nemu juga ini KTP yang ternyata ada di dalam kantong celana gue. Akhirnya proses buka membuka rekening berjalan dengan lancar seperti di jalan tol. Gue kagum sama Mbak Customer Service yang udah membimbing gue mengisi berbagai formulir dengan telaten, ramah dan cekatan meskipun gue lumayan bego dalam urusan beginian. “Silahkan bapak bayar biaya administrasinya di bagian Teller.” Bimbing beliau. Gue langsung ke bagian Teller buat membayar biaya administrasi dan gue kemudian nunggu sebentar sampe gue dipanggil.
Sambil nunggu di kursi empuk. Gue beraksi lagi mengasah kemampuan detektif gue biar semakin tajam. Setiap makhluk yang berkunjung di bank ini gue amati. Mulai janda, duda, single, double sampe keroyokan tidak luput dari pengamatan gue. Gue bangga dengan kemampuan detektif gue walaupun kasus yang pernah gue tangani hanyalah kasus hilangnya gayung kamar mandi gue.
Ketika gue sedang dalam masa menunggu, datanglah seorang ibu-ibu bersama dengan anak cewek beliau yang dari perawakannya seperti anak usia SLTP. Gue awalnya enggak terlalu peduli dengan ibu-ibu tersebut kecuali dengan anak beliau. Badannya mungil dan sepertinya dia mau melakukan perjalanan jauh karena dia bawa tas yang lumayan penuh, pake sarung tangan dan kelihatan kondisi badannya masih segar (kalo habis datang dari perjalan jauh kondisi badannya pasti keliatan capek). Gue enggak ngeliat tampang itu anak awalnya dan jujur saja gue sedikit penasaran karena dari suaranya terdengar familiar dan begitu lekat di hati seperti lem tembak.
Gue amatin dia, kebetulan dia duduk membelakangi gue dan posisinya tidak jauh mungkin hanya berjarak dua meter saja dari gue. Duuh tolong tampakkan wajahmu hai perempuan mungil. Aku ingin melihatmu dan apakah aku pernah bertemu denganmu. Tidak ada reaksi sama sekali selain dia duduk membelakangi gue dan berbicara dengan ibunya. Ya biarlah, mungkin rasa penasaran gue ini tidak akan terobati dan gue juga tidak terlalu memikirkannya.
Lumayan lama juga nih Om-om di bagian teller ngurus biaya administrasi pembukaan rekening gue. Mungkin banyak yang mesti dilayani dulu jadinya harus antri. Sesaat ketika rasa penasaran gue terhadap itu perempuan sudah jauh berkurang. Gue kembali memandangnya walaupun tidak melihat wajahnya sama sekali. Posisinya tetap sama tidak berubah. Beberapa menit kemudian, sepertinya harapan gue terkabul. Dia mulai membalikan badannya atau lebih tepatnya mengubah posisi duduknya alhasil gue bisa melihat rupa wajahnya. Syukurlah.
Entah ini kebetulan atau mungkin dia merasa bahwa sedang diamati. Dia membalikan badannya dan menegok ke belakang tepat ke arah gue. Deg deg deg, jantung gue berdegup kencang seperti genderang mau perang. Gue tidak bisa apa-apa selain mematung tidak bisa bergerak ataupun mengubah pandangan. Gue seperti mendengar alunan musik yang pernah gue denger dulu waktu sedang jatuh cinta yaitu Given Up-nya Linkin Park. “Mahmud Dzul Qodir.” Om Teller manggil gue. Gue terpana dan tanpa sadar tidak memperhatikan panggilan Teller. Untung mbak Customer Service yang tadi bantu gue buka rekening ingetin gue, salut dah. Kenapa gue bisa terpana nanti gue jelaskan segera sesudah gue kelar urusan dengan yang namanya Teller.
Gue terpana dengan itu perempuan karena memang gue kenal dia. Dia adalah teman sekelas gue waktu gue SLTA. Tapi mungkin kalian akan sedikit bingung kenapa gue sampe segitu terpananya dengan dia. Yupz, dia memang teman sekelas gue atau lebih jauhnya dialah yang gue taksir waktu sekolah dulu.
Dia yang hanya bisa gue dekati walaupun cuma sebatas teman. Dia yang bikin gue bahagia walaupun hanya dalam pandangan. Dia yang membuat gue berusaha untuk menjadi siswa yang pintar. Tidak terkira bagaimana bahagianya gue waktu dia minta bantuan gue dalam mengerjakan tugas sekolah. Dia yang membuat gue tersenyum dari kejauhan. Namun gue sadar, dia tidak mungkin menyukai gue lebih dari seorang teman. Gue hanya bisa menyimpan rasa cinta dalam hati gue dan tidak berani mengungkapkannya. Iya gue emang pengecut.
Gue sebenarnya ingin menyapanya, mengatakan “Hai”, menanyakan kabar dan lain-lain tapi mulut gue seakan tergembok dengan sendirinya. Gue hanya bisa memandang dia dan dia juga memandang gue. Mungkin dia juga merasakan hal yang sama yaitu tidak bisa saling menyapa dan pastinya tidak ada rasa lebih di hatinya selain menganggap gue sebagai teman biasa.
Mungkin ini adalah jawaban dari yang Maha Kuasa atas harapan gue yang ingin sekali bertemu dengan dia walaupun dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun singkat tapi sungguh berarti. Gue harap gue bisa bertemu dengannya dengan waktu yang lama, mudahan saja. Gue lihat wajahnya seperti menunjukan tanda tanya apakah gue emang orang yang dia kenal dulu. Kalo gue bisa menyapanya walaupun singkat, pastinya dia akan tahu bahwa gue adalah teman sekelasnya dulu walaupun dia tidak tahu bahwa gue dulunya sangat menyukai dia. Berbagai kenangan berkecamuk di pikiran gue. Begitu manisnya kenangan tentang cinta gue terhadapnya dan betapa pahitnya kenyataan bahwa gue tidak bisa menggapai cinta tersebut. Semua karena gue yang terlalu pengecut dan pesimis.
Gue tidak bisa apa-apa. Gue berjalan, berlalu di dekatnya tanpa bisa melakukan apa-apa dan berusaha meyakinkan diri bahwa masa lalu tentang cinta tak terungkap dan tersampaikan tersebut tidak perlu diingat. Sangat menyakitkan. Gue emang bodoh.